KONTEKS KULTURAL BERUPA SPEECH CODE UNTUK MEMAHAMI MAKNA TUTURAN DALAM BAHASA JAWA: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK


KONTEKS KULTURAL BERUPA SPEECH CODE UNTUK  MEMAHAMI MAKNA TUTURAN DALAM BAHASA JAWA: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK

Yashinta Kurnia Brilyanti (181232007)
MPBSI Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
E-mail:shintabackup4@gmail.com

ABSTRAK
Bahasa dan budaya adalah satu kesatuan. Satu kesatuan inilah yang membuat bahasa memiliki tali-temali dengan budaya. Memaknai bahasa dengan menggunakan kajian antropolinguistik berkaitan dengan budaya masyarakat penuturnya. Paradigma fungsional digunakan untuk memaknai bahasa dengan tidak sekadar memahami struktur bahasanya, tetapi juga terkait dengan penuturnya. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan makna tuturan dalam bahasa Jawa dengan menggunakan konteks kultural berupa speech code. Makna tuturan dapat dipahami dengan baik bila mitra tutur memahami konteks kultural penuturnya. Memaknai tuturan dalam bahasa Jawa perlu melihat pada konteks kultural masyarakat Jawa itu sendiri.  Masyarakat Jawa  akan bertutur menggunakan unsur unggah-ungguh sehingga dalam menolak atau mengungkapkan sesuatu akan bertutur secara tidak langsung pada hal-hal yang ingin disampaikan. Mereka menggunakan kalimat lain untuk mengatakan suatu gagasan yang tidak dapat disampaikan dengan kata-kata. Hal ini dikarenakan bahwa orang Jawa mengedepankan harmoni daripada konflik.

Kata Kunci: Antropolinguistik, konteks kultural, dan bahasa Jawa

PENDAHULUAN
Kehidupan sehari-hari melibatkan bahasa sebagai alat komunikasi. Oleh karena itu bahasa bukan hanya fenomena mental melainkan juga fenomena sosial. Bahasa sebagai fenomena sosial merupakan bagian dari paradigma fungsional. Pergeseran dari paradigma formalis ke paradigma fungsionalis terjadi karena dua hal yaitu (1) para peneliti memandang bahwa selama ini bahasa hanya dikaji sebagi manifestasi kemampuan kognitif dan afektif manusia dan (2) kaidah-kaidah yang ditawarkan oleh kaum nativis bersifat abstrak, eksplisit, dan formal, tetapi tidak menyentuh makna, hanya bertolak pada bentuk-bentuk bahasa. Sebuah makna terbangun dari interaksi sosial. Makna dapat dipahami apabila dihubungkan dengan konteks masyarakat penuturnya  (Brown, 2007: 35).
Antropolinguistik merupakan salah satu kajian yang muncul karena adanya paradigma fungsional (Agustini, 2016: 2). Antropolinguistik ialah ilmu yang mengkaji bahasa denganmenggunakan konteks antropologi (Duranti, 1997: 2). Dalam antropolinguistik, dikaji praktik-praktik penggunaan bahasa dalam masyarakat dengan latar belakang budaya tertentu. Oleh karena itu, dalam memahami makna tuturan perlu melihat latar belakang budaya penuturnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Foley (1997:3) yang mendefenisikan bahwaAntropological linguistics is that sub-field of linguistics which is concerned with the place of language in its wider social and cultural context, its role in forging and substaining cultural practices and social structures”. Foley memberikan pemahaman bahwa linguistik antropologi merupakan cabang linguistik yang berkenaan dengan posisi bahasa dalam konteks sosial dan kultural yang lebih luas, peran bahasa dalam memadu dan menopang praktik-praktik kultural dan struktur sosial. Konsep antropolinguistik ini memandang bahasa sebagai proses praktik budaya dan struktur sosial (Sibarani, 2015: 5).
Bahasa Jawa adalah bahasa daerah yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional Indonesia, yang hidup dan tetap dipergunakan dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Bahasa Jawa digunakan sebagai alat komunikasi sebagian besar penduduk Jawa dan digunakan untuk memperkokoh jati diri dan kepribadian masyarakatnya (Widiastuti, 2012: 11). Penelitian ini memfokuskan bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Jawa di sekitar lingkungan aktifitas peneliti yaitu di Yogyakarta. Untuk memahami makna tuturan dalam bahasa Jawa, harus memahami pula budaya masyarakatnya. Hal ini dikarenakan bahwa penggunaan bahasa masyarakat terkait erat dengan budaya yang dimiliki. Oleh karena itu, penting untuk melihat konteks dalam memaknai tuturan. Konteks terkait dengan hal-hal yang berada di luar pengejawantahan suatu ujaran (Cummings, 2007: 5). Memaknai bahasa dengan menggunakan kajian antropolinguistik sangat terikat dengan konteks (context bound) (Agustini, 2016: 2). Oleh karena itu, penelitian ini mengangkat pembahasan tentang memahami makna tuturan dalam bahasa Jawa dengan menggunakan konteks kultural.
LANDASAN TEORI
a.      Hubungan Bahasa dan Budaya
      Bahasa dan budaya memiliki hubungan erat yang saling berkaitan. Bahasa dan budaya merupakan dua fenomena yang terjadi di dalam masyarakat. Oleh sebab itu berbicara mengenai bahasa dan budaya tidak akan dapat lepas dari masyarakatnya. Terkait dengan hubungan bahasa dan budaya, muncul teori mengenai relativitas budaya dan relativitas bahasa.
Tradisi Boas beranggapan tidak seorang pun yang benar-benar mengenal budaya lain tanpa berinteraksi langsung dengan bahasanya (Duranti: 1997: 52). Menurutnya sistem bahasa suatu masyarakat dapat dipelajari sebagai pemandu untuk sistem budaya suatu masyarakat. Ia menyimpulkan bahwa bahasa mengklasifikasikan dunia dan pengalaman manusia. Ia menggunakan argumen itu untuk menyokong teori relativitas budaya. Budaya itu tentu saja tidak dapat diterapkan di masyarakat lain yang tidak memiliki pola pikir yang sama. Budaya dipahami dari konteks masyarakatnya. Baginya, budaya ialah konsep mental atau psikologis (Duranti, 1997: 55). Terkait dengan pemikiran itu, bagi kaum formalis, bahasa juga merupakan fenomena mental.
Relativitas bahasa dicetuskan oleh Edward Sapir dan Benjamin Whorf atau dikenal dengan nama hipotesis Sapir-Whorf. Edward Sapir ialah murid Frans Boas, sedangkan Benjamin Whorf merupakan murid Edward Sapir. Hipotesis ini menyatakan bahwa bahasa memengaruhi budaya dan cara berpikir seseorang. Pendapat ini merupakan versi lemah hipotesis Sapir-Whorf. Misalnya saja ada tulisan di kebun binatang yang berbunyi demikian: “Bahaya! Dilarang memberi kepada hewan buas”. Tulisan tersebut dapat memengaruhi seseorang atau pengunjung kebun binatang untuk tidak memberi makanan kepada hewan saat berada atau berkunjung ke kebun binatang karena berbahaya bagi keselamatan dari orang tersebut. Seseorang akan berpikir kalau memberi makanan pada hewan buas seperti macan misalnya, hewan buas atau macan tersebut bisa saja mencelakai orang tersebut atau bahkan mencelakai pengunjung lain. Hal itu terjadi karena interpretasi mental seseorang ketika membaca tulisan itu. Versi kuat dari hipotesis Sapir-Whorf yaitu bahasa menentukan budaya. Hal ini relevan dengan peribahasa bahasa menentukan bangsa. Cara seseorang berbahasa menentukan orang tersebut berasal dari budaya mana. Contohnya yaitu orang yang selalu berbicara dengan suara yang keras dan kasar, maka ia terbentuk menjadi seorang yang kasar.
Di antara versi lemah dan versi kuat, yang dapat diterima hanyalah versi lemah. Hal ini dikarenakan versi kuat yang terlalu ekstrem. Begitu juga dengan relativitas budaya dan relativitas bahasa, keduanya sama-sama memberikan sumbangan pikiran mengenai kaitan bahasa dan budaya. Masing-masing saling memengaruhi satu sama lain. Oleh karenanya bahasa dan budaya saling memengaruhi, untuk memaknai tuturan dalam suatu bahasa perlu memahami konteks kultural penutur.

b. Konteks Kultural untuk Memahami Tuturan
Konteks ialah semua latar belakang pengetahuan yang dimiliki penutur dan mitra tutur, serta yang menyertai dan mewadahi sebuah tuturan (Rahardi, 2006: 50). Pranowo (2015: 4) berpendapat bahwa konteks ialah gagasan yang tidak dapat diwakili oleh kata-kata padahal ingin diungkapkan oleh penutur. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa konteks adalah latar belakang pengetahuan yang dimiliki oleh penutur dan mitra tutur tentang semua hal yang mendukung terbentuknya tuturan yang mengandung gagasan yang tidak dapat diwakili kata-kata oleh penutur dan maknanya dapat dipahami mitra tutur. Konteks kultural dapat didefinisikan sebagai latar belakang pengetahuan tentang budaya yang dimiliki oleh penutur dan mitra tutur untuk mendukung komunikasi antara penutur dan mintra tutur agar berjalan dengan baik. Tanpa memahami konteks, mitra tutur akan sulit memahami makna tuturan yang disampaikan penutur (Putrayasa, 2014: 29). Dapat dikatakan bahwa tanpa memahami konteks dijadikan dasar untuk memahami sebuah tuturan. Penutur dan mitra tutur merupakan masyarakat yang hidup dalam suatu kultur tertentu. Oleh karena itu, memaknai tuturan harus melihat konteks kultural penuturnya.
Menurut Pranowo (2015: 5), dasar penentuan konteks dapat diidentifikasi terdiri atas beberapa hal yaitu dasar pemahaman bersama, latar belakang belakang budaya, asumsi penutur terhadap mitra mitra tutur, knowledge of the world, kesantunan, dan bahasa nonverbal sebagai konteks. Berkaitan dengan pendapat tersebut, kajian antropolinguistik mengambil posisi dengan menekankan pada latar belakang budaya.). Tuturan akan dipahami apabila penutur dan mitra tutur sama-sama memahami latar belakang budaya bertutur. Dalam konteks masyarakat Indonesia, terdiri atas banyak latar belakang budaya karena memang Indonesia terdiri atas masyarakat yang majemuk. Oleh karena itu, untuk dapat memahami makna tuturan oleh penutur dengan latar belakang tertentu, harus dipahami konteks kultural penutur.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah metode kualitatif deskriptif. Data penelitian diperoleh dari tuturan dalam bahasa Jawa. Tuturan tersebut kemudian dianalisis  menggunakan konteks kultural berdasarkan teori antropolinguistik. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah berupa analisis pustaka dan observasi, dan teknik catat.Observasi dilakukan selama satu minggu di kelas MPBSI Universitas Sanata Dharma semester 1 dan 2. Analisis tersebut kemudian menghasilkan deskripsi tentang makna tuturan dalam bahasa Jawa dengan menggunakan konteks kultural berdasarkan teori antropolinguistik.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Yogyakarta mempunyai budaya yang masih sangat kental dan dikenal dengan keramahan sikap, pola bicara lemah lembut, tutur kata yang sopan dan penuh dengan unggah-ungguh dalam berperilaku (Mawalia, 2017: 5). Hal ini dipengaruhi oleh budaya Jawa yang masih sangat kental. Haryanto (2013: 30), mengungkapkan bahwa orang Jawa cenderng mengedepankan harmoni ketimbang konflik. Keselarasan hidup baik di ranah sosial (masyarakat) maupun ranah batin berupa perasaan tentrem dan ayem (tentram dan nyaman) merupakan kondisi kehidupan yang diidamkan oleh setiap orang Jawa.
Untuk memahami kultur masyarakat Jawa, ada beberapa speech code yang terlebih dulu harus dimengerti antara penutur dan mitra tutur. Speech code yang dimiliki masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta antara lain gaya bicara yang lemah lembut, tutur sapa yang halus, cara bicara yang sopan, penuh tatakrama, murah senyum, intonasi yang halus, kecepatan bicara yang pelan, dan intonasi nada yang pelan serta gesture tubuh yang lentur (Mawalia, 2017: 7). Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta mengedepankan sikap unggah-ungguh saat ia melakukan komunikasi dan bertemu dengan orang lain. Berikut merupakan contoh tuturan dalam bahasa Jawa yang hanya dapat dipahami jika memahami konteks kultural bahasa Jawa:
(1)   Percakapan dilakukan pada hari Senin, 3 September 2018.
A: piye statistik inferensial mau?
(Bagaimana statistik inferensial tadi?)

B: seneng aku, gampang.
(Saya senang sekali, mudah.)

Ketika A bertanya bagaimana statistik inferensial tadi? Mitra tutur B menjawab bahwa dia senang sekali dan merasa bahwa mata kuliah statistik inferensial mudah. Sebenarnya makna dari tuturannya ialah statistik inferensial sulit. Namun ia mengatakan bahwa dia sangat senang dan merasa mudah mengerjakan. Hal ini bertujuan untuk menghargai penutur. Maksud dari tuturan diperjelas dengan adanya speech code berupa murah senyum, intonasi yang halus, dan gesture tubuh yang lentur. Mitra tutur yang tidak memahami konteks kultural masyarakat Jawa, dia akan memahami bahwa penutur benar-benar merasa senang dengan mata kuliah statistik inferensial.
(2)   Percakapan dilakukan pada hari Rabu, 5 September 2018.
Kowe ki lo dolanan hp terus, gaweanmu mesti wis rampung.
(Kamu bermain hp terus, pekerjaanmu pasti sudah selesai.)

Tuturan tersebut bermakna perintah agar mitra tutur tidak bermain hp terus sebab dia akan presentasi tugas kelompok. Mitra tutur yang tidak memahami konteks kultural masyarakat Jawa, dia akan memahami bahwa penutur merasa tidak terganggu dengan aktifitas yang dilakukan oleh mitra tutur. Maksud dari tuturan diperjelas dengan adanya speech code berupa tutur sapa yang halus, bicara yang sopan, intonasi pelan serta gestur tubuh yang lentur.
(3)   Percakapan dilakukan pada hari Rabu, 5 September 2018.
Wis suwe akdewe ora maem bareng. Tugasku okeh banget.
(Sudah lama ya kita tidak makan bersama. Tugasku banyak sekali.)

Tuturan tersebut merupakan tuturan yang disampaikan kepada teman penutur. Penutur ingin meminta maaf karena sudah lama tidak makan bersama terhadap mitra tutur. Hal itu dikarenakan penutur sibuk mengerjakan tugas. Apabila mitra tutur tidak memahami konteks kultural penutur itu, mitra tutur tidak akan memahami makna tutur oleh penutur. Maksud dari tuturan diperjelas dengan adanya speech code berupa tutur yang halus, cara bicara yang sopan, penuh tata krama, intonasi yang halus, kecepatan bicara yang pelan, intonasi pelan serta gesture tubuh yang lentur.
(4)   Percakapan dilakukan pada hari Kamis, 6 September 2018
Lipstikmu warnane apik, marai ketok cerah.
(Lipstikmu warnanya bagus, membuat terlihat cerah)

Tuturan tersebut tidak bermakna memuji, tetapi menyindir. Penutur ingin menekankan secara halus bahwa lipstik yang digunakan oleh mitra tutur tampak begitu menyolok, sehingga yang diharapkan, mitra tutur menipiskan warna lipstik yang dipakai. Apabila mitra tutur tidak memahami konteks kultural penutur itu, mitra tutur tidak akan memahami makna tutur oleh penutur. Maksud dari tuturan diperjelas dengan adanya speech code berupa cara berbicara yang sopan, tutur sapa yang halus, dan intonasi pelan serta gesture tubuh yang lentur.
(5)   Percakapam dilakukan Senin, 3 September 2018
A: Iki lo dimaem wae!
(Ini lo dimakan aja!)

B: (sambil mengangguk) iyo.
(Sambil mengangguk (iya))

Tuturan tersebut tidak bermakna menerima, tetapi menolak.Penutur menawarkan makanan kepada mitra tutur, kata “iyo (iya)” bukan berarti mengiyakan bahwa dia akan memakan yang penutur tawarkan. Apabila mitra tutur tidak memahami konteks kultural penutur itu, mitra tutur tidak akan memahami makna tutur oleh penutur. Maksud dari tuturan diperjelas dengan adanya speech code berupa lemah lembut, tutur sapa yang halus, cara bicara yang sopan, dan intonasi yang halus.
Pemahaman mengenai konteks kultural penutur menyebabkan komunikasi antara penutur dan mitra tutur berjalan lancar—tidak mengalami kegagalan karena mitra tutur memahami makna tuturan penutur. Hal ini memberi bukti bahwa bahasa dan budaya memiliki tali-temali. Memahami makna tuturan harus memperhatikan konteks dalam hal ini yaitu konteks kultural.

SIMPULAN
Bahasa memiliki tali-temali dengan budaya. Memaknai bahasa dengan kacamata paradigma fungsional tidak sekadar melihat dari struktur bahasa, tetapi juga berhubungan dengan penuturnya. Terkait dengan itu, perlu pemahaman tentang konteks. Konteks kultural perlu dipahami agar komunikasi antara penutur dan mitra tutur berjalan dengan lancar. Memaknai tuturan dalam bahasa Jawa perlu melihat pada konteks kultural masyarakat Jawa khusunya di Yogyakarta itu sendiri. Untuk memahami kultur masyarakat Jawa, ada beberapa speech code yang terlebih dulu harus dimengerti antara penutur dan mitra tutur. Speech code yang dimiliki masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta antara lain gaya bicara yang lemah lembut, tutur sapa yang halus, cara bicara yang sopan, penuh tatakrama, murah senyum, intonasi yang halus, kecepatan bicara yang pelan, dan intonasi nada yang pelan serta gesture tubuh yang lentur. Proses komunikasi menekan hal-hal yang dianggap negatif atau dianggap dapat menyakiti mitra tutur. Mereka menggunakan kalimat lain dengan lebih halus untuk mengatakan suatu gagasan yang tidak dapat disampaikan dengan kata-kata.

DAFTAR REFERENSI
Brown, H. Douglas. 2008. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Edisi Kelima. Jakarta: U.S. Embassy Jakarta.
Agustini, Melyda. 2016. Kajian Antropolinguistik: Konteks Kultural untuk Memahami Makna Tuturan dalam Bahasa Nias. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.

Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
Foley, Wiliam, A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. USA: Blackwell Publisher.
Sibarani, Robert. 2015. Pendekatan Antropolinguistik terhadap Kajian Tradisi Lisan. Retorika, I (1): 1-17.
Cummings, Louise. 2007. Pragmatik: Sebuah Perspektif Multidispliner. Abdul Syukur Ibrahim (Eds.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pranowo. 2015. Tergantung pada Konteks. Yogyakarta: Magister PBSI, FKIP, Universitas Sanata Dharma.
Rahardi, Kunjana. 2006. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Putrayasa, Ida Bagus. 2014. Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Mawalia. 2017. Komunikasi Antarbudaya Madura dan Yogyakarta (Studi Etnografi) Adaptasi Speech Code Pada Mahasiswa Madura di Masyarakat Yogyakarta) (Skripsi). Yogyakarta: UIN.
Haryanto, Sindung. 2013. Dunia Simbol Orang Jawa. Yogyakarta: Kepel Press.



Komentar

Postingan Populer