Second Language Acquisition
Second Language Acquisition
Oleh:
Nina
Spada (OISE/ University of Toronto)
Patsy M.
Lightbown (Concordia University)
Diterjemahkan
oleh Yashinta Kurnia Brilyanti
Email: yashintakurnia95@gmail.com
Apa yang dimaksud dengan Pemerolehan Bahasa
Kedua?
Penelitian mengenai pemerolehan
bahasa kedua berfokus pada pengembangan pengetahuan dan penggunaan bahasa oleh
anak-anak dan orang dewasa yang setidaknya telah mengetahui satu bahasa lain.
Beberapa teori menekankan pada pentingnya karakteristik bawaan anak, dan
beberapa lainnya menekankan pentingnya peran lingkungan dalam proses belajar
bahasa. Selain itu, kita juga tahu bahwa proses belajar bahasa kedua anak dan orang
dewasa adalah berbeda. Semua pembelajar bahasa kedua,
berapapun usianya, biasanya sudah mempelajari paling tidak satu bahasa.
Pengetahuan ini akan sangat menguntungkan karena pembelajar sudah tahu
bagaimana bahasa berfungsi.
Teori Belajar Bahasa Kedua
Di sisi lain,
pengetahuan tentang bahasa lain juga bisa membuat pembelajar membuat tebakan
yang salah tentang bagaimana bahasa kedua berfungsi dan ini bisa menyebabkan
kesalahan yang tidak akan dilakukan oleh pembelajar bahasa pertama. Pembelajar
bahasa pertama tidak memiliki kematangan kognitif, kesadaran metalinguistik, atau
pengetahuan tentang dunia yang sama dengan pembelajar bahasa kedua. Walaupun pembelajar
bahasa kedua mulai mengembangkan kematangan kognitif dan kesadaran
metalinguistik, tetapi mereka tetap harus mengembangkan bidang-bidang tersebut,
seperti juga bidang pengetahuan tentang dunia sebelum mereka masuk ke level
yang sama seperti yang dicapai oleh remaja dan orang dewasa.
Perspektif Linguistik
(Gramatika Universal / Tata Bahasa Universal)
Seperti yang kita
ketahui, teori pemerolehan bahasa dari Chomsky didasarkan pada hipotesis yang
menyatakan bahwa pengetahuan bawaan yang menjadi prinsip dari Gramatika
Universal (UG) memungkinkan semua anak memperoleh bahasa yang digunakan di
lingkungan mereka, selama periode kritis dalam perkembangan mereka. Chomsky
tidak memberikan pernyataan khusus tentang implikasi teori ini untuk proses belajar
bahasa kedua. Namun, beberapa linguist yang menggunakan teori ini menyatakan
bahwa Gramatika Universal menawarkan sudut pandang terbaik untuk bisa memahami
pemerolehan bahasa kedua. Lainnya, menyatakan bahwa walaupun UG bisa menjadi
kerangka yang bagus untuk memahami perolehan bahasa pertama, tetapi ia tidak
bisa lagi menjadi panduan untuk pemerolehan bahasa kedua dari pembelajar yang
sudah melewati periode kritis untuk pemerolehan bahasa. Bahkan mereka yang percaya
bahwa UG memiliki peran penting dalam pemerolehan bahasa kedua tidak setuju
tentang bagaimana peran UG dalam perkembangan bahasa kedua.
Peneliti yang
menggunakan kerangka UG juga berbeda dalam hal hipotesis yang diajukan tentang
bagaimana pembelajaran formal atau koreksi kesalahan akan mempengaruhi
pengetahuan pembelajar akan bahasa kedua. Seperti halnya anak kecil, pembelajar
dewasa bahasa kedua tidak butuh dan tidak memperoleh manfaat dari koreksi
kesalahan dan informasi metalinguistik yang ada. Mereka menyimpulkan bahwa
kedua hal itu hanya akan merubah penampilan superfisial dari performa bahasa,
tidak mempengaruhi pengetahuan sistematik dari bahasa baru. Peneliti yang mempelajari
pemerolehan bahasa kedua dengan menggunakan sudut pandang UG biasanya tertarik
dengan kompetensi bahasa (pengetahuan) dari pembelajar bahasa tingkat lanjut
dan tidak tertarik dengan bahasa sederhana dari pebelajar tahap awal. Mereka
menyatakan bahwa, jika berbagai macam teori lainnya sudah memadai untuk
menjelaskan tentang performa bahasa awal, tetapi teori seperti UG adalah
penting untuk menjelaskan pengetahuan pembelajar tentang bahasa kompleks.
Mereka tertarik dengan apakah kompetensi yang mendasari performa bahasa dari pembelajar
bahasa kedua menyerupai kompetensi yang mendasari performa bahasa dari penutur
asli.
Teori Monitor
Stephen Krashen
(1982) mengajukan teori pemerolehan bahasa kedua yang sangat berpengaruh dalam
pengajaran bahasa kedua. Dia mengajukan lima “hipotesis” yang membentuk apa
yang oleh Krashen dinyatakan sebagai “monitor model”. Hipotesis-hipotesis
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Acquisition-learning Hypothesis
Menurut Krashen, ada dua cara yang digunakan oleh pembelajar
dewasa untuk mengembangkan pengetahuan bahasa kedua yaitu “pemerolehan dan
belajar”. Kita “memperoleh” bahasa ketika kita mendengarkan sampel bahasa kedua
sama seperti anak kecil yang belajar bahasa pertama mereka. Sebaliknya, belajar
terjadi melalui proses belajar
formal dan penuh perhatian untuk membentuk pengetahuan. Krashen juga
menegaskan bahwa belajar (learning) tidak bisa berubah menjadi pemerolehan
(acquisition).
2. Monitor Hypothesis
Krashen menyatakan bahwa sistem yang sudah diperoleh berfungsi untuk
memicu munculnya tuturan dari penutur dan memengaruhi kelancaran dan penilaian
terhadap benar tidaknya kalimat yang diucapkan. Sebaliknya, sistem yang sudah
dipelajari hanya akan berfungsi sebagai editor atau “monitor” yang hanya akan menimbulkan
sedikit perubahan dan memoles apa yang sudah dihasilkan oleh sistem yang
diperoleh (acquired). Krashen juga menyatakan bahwa pebelajar menggunakan
monitor hanya jika mereka terfokus pada “benar” dan bukan pada apa yang harus
dikatakan, jika mereka memiliki cukup waktu untuk mencari aturan yang relevan dalam
memori mereka. Tetapi sulit untuk memperoleh bukti tentang penggunaan
“monitor”. Sulit untuk menentukan mana yang sudah dihasilkan oleh sistem yang
diperoleh dan mana yang menjadi hasil dari penggunaan monitor.
3. Natural Order Hypothesis
Dasar untuk hipotesis ini adalah pengamatan bahwa seperti halnya pembelajar
bahasa pertama, pembelajar bahasa kedua memperoleh fitur bahasa target dalam
pola yang bisa diprediksi.
4. Input Hypothesis
Krashen menegaskan bahwa seseorang memperoleh bahasa hanya dengan
satu cara – yaitu dengan eksposur terhadap input yang bisa dipahami.
Jika input berisi bentuk dan struktur di atas level kompetensi bahasa pebelajar
(apa yang oleh Krashen disebut dengan “i+1), maka komprehensi dan pemerolehan
akan terjadi.
5. Affective Filter Hypothesis
“Filter Afektif” adalah hambatan imajiner yang membuat pembelajar tidak
bisa memperoleh bahasa dari input yang tersedia. “Affect” mengacu pada hal-hal
seperti motif, kebutuhan, sikap, dan kondisi emosional. Seorang pmebelajar yang
sedang tegang, marah, khawatir
atau bosan akan “menyingkirkan” output, sehingga tidak terjadi pemerolehan.
Jadi, dengan memperhatikan kondisi-kondisi pikiran atau disposisi pebelajar,
maka filter tersebut akan membatasi apa yang diperhatikan dan apa yang
diperoleh. Yang membuat hipotesis ini menarik bagi para praktisi adalah bahwa
itu memiliki implikasi langsung terhadap praktik di kelas. Guru bisa memahami
mengapa beberapa pebelajar berhasil sementara lainnya tidak. Tetapi masalah
yang muncul dari hipotesis ini adalah sulit untuk memastikan bahwa
faktor-faktor afektiflah yang menyebabkan perbedaan dalam hal pemerolehan
bahasa.
Perspektif Psikologis
(Behaviorisme)
Kaum behaviorist
menjelaskan proses belajar dengan menekankan pada imitasi, praktik, penguatan
(atau umpan balik untuk keberhasilan) dan pembentukan kebiasaan. Kaum
behaviorist yakin bahwa belajar, apakah itu verbal atau non-verbal, terjadi
melalui proses yang sama. Pembelajar menerima input linguistik dari penutur di
lingkungan mereka dan mereka akan menciptakan “asosiasi” antarkata dan obyek
atau peristiwa. Asosiasi itu akan menjadi semakin kuat ketika pengalaman muncul
berulang-ulang. Pembelajar menerima dorongan positif untuk imitasi yang mereka
lakukan secara benar dan umpan balik korektif untuk kesalahan yang mereka buat.
Karena perkembangan bahasa dianggap sebagai pembentukan kebiasaan, maka
diasumsikan bahwa orang yang mempelajari bahasa kedua mulai dengan kebiasaan
yang terbentuk dalam bahasa pertama dan kebiasaan-kebiasaan tersebut pasti akan
berbenturan dengan kebiasaan baru yang dibutuhkan untuk mempelajari bahasa
kedua (Lado, 1964).
Kaum behaviorist
seringkali dikaitkan dengan Contrastive Analysis Hypothesis (CAH) (Hipotesis
Analisis Kontrastif) yang dikembangkan oleh linguist structural di Eropa
dan Amerika Utara. CAH menyatakan bahwa jika ada kemiripan antara bahasa
pertama dan bahasa target, maka pembelajar akan lebih mudah menguasai struktur
bahasa target dan jika ada perbedaan, maka pembelajar akan menemukan kesulitan.
Namun, para peneliti menemukan bahwa tidak semua kesalahan yang diprediksi oleh
CAH benar-benar terjadi. Selain itu, banyak kesalahan yang dibuat oleh pembelajar
tidak bisa diprediksi dengan berdasarkan pada CAH. Misalnya, pembelajar pemula
menggunakan struktur sederhana dalam bahasa target seperti halnya anak-anak;
misalnya, “No Understand” (seharusnya Not Understand) atau “Yesterday, I meet
my teacher” (seharusnya yesterday, I met my teacher). Kalimat seperti itu lebih
mirip dengan kalimat dari bahasa pertama yang diucapkan oleh anakanak daripada
terjemahan dari bahasa lainnya. Banyak kalimat-kalimat yang dihasilkan oleh
pebelajar bahasa kedua di tahap awal perkembangan akan sangat tidak gramatikal
jika dlihat dari bahasa pertama. Selain itu, beberapa karakteristik dari
kalimat-kalimat sederhana tersebut bisa dijumpai dihampir semua pebelajar yang
berasal dari berbagai macam latar belakang yang berbeda, bahkan walaupun
struktur bahasa pertama mereka sangat berbeda satu sama lain dan juga berbeda
dengan bahasa target.
Connectionism / Koneksionisme
Kaum koneksionist
memberikan penekanan yang lebih besar pada peran lingkungan dibanding
pengetahuan bawaan dalam diri pembelajar, dengan asumsi bahwa apa yang dibawa
sejak lahir hanyalah kemampuan untuk belajar, bukan struktur linguistik tertentu.
Koneksionis menyatakan bahwa pebelajar membentuk pengetahuan tentang bahasa
melalui eksposur terhadap ribuan fitur linguistik. Jika kaum innatist
menganggap bahwa input bahasa dalam lingkungan hanya menjadi “pemicu” untuk mengaktifkan
pengetahuan bawaan, maka kaum koneksionis memandang input bahasa sebagai sumber
utama untuk pengetahuan linguistik. Setelah mendengar fitur-fitur linguistik
dalam konteks situasi atau linguistik tertentu, maka pebelajar akan
mengembangkan “koneksi” mental yang semakin kuat diantara elemen-elemen tersebut.
Sebagai contoh, pembelajar mungkin akan bisa menyusun kalimat dengan benar
bukan karena mereka tahu aturan susunan kalimat, tetapi karena mereka
seringkali mendengar contoh-contoh kalimat semacam itu.
Perspektif Interaksionist
Beberapa teoritikus interaksionist,
seperti Hatch (1992), Teresa Pica (1994) dan Michael Long (1983) menyatakan
bahwa sebagian besar proses pemerolehan bahasa kedua terjadi melalui interaksi
percakapan. Ini sama dengan teori bahasa pertama yang sangat menekankan pada
tuturan yang ditujukan pada anak. Kaum interaksionist setuju dengan Krashen bahwa
input yang bisa dipahami adalah penting untuk pemerolehan bahasa, walaupun
mereka juga memberikan penekanan pada pertanyaan tentang bagaimana input bisa
mudah dipahami. Long menyatakan bahwa apa yang dibutuhkan pembelajar bukan
hanya penyederhanaan bentuk-bentuk linguistik tetapi peluang untuk berinteraksi
dengan penutur lain, sampai pembelajar memahaminya. Long menyimpulkan bahwa
interaksi yang dimodifikasi terkait erat dengan pemerolehan bahasa karena:
1. Modifikasi interaksional membuat input menjadi lebih bisa
dipahami.
2. Input yang bisa dipahami akan meningkatkan pemerolehan.
3. Modifikasi interaksional meningkatkan pemerolehan.
Sudut pandang
lain tentang peran interaksi dalam pemerolehan bahasa kedua adalah teori sosio budaya
untuk pemrosesan mental manusia yang diajukan oleh Vygotsky. Vygotsy menyatakan
bahwa semua perkembangan kognitif, termasuk perkembangan bahasa, muncul sebagai
akibat dari interaksi sosial antar individu. Berdasarkan teori Vygotsky
tersebut, Jim Lantolf dan lainnya menyatakan bahwa pembelajar bahasa kedua bisa
naik ke level yang lebih tinggi ketika mereka berkolaborasi dan berinteraksi
dengan pembelajar bahasa kedua yang lebih pandai dari mereka. Yang penting dari
teori Vygotsky adalah gagasan tentang zona perkembangan proksimal, yaitu level
performa yang bisa ditunjukkan oleh pembelajar ketika ada dukungan yang berasal
dari interaksi dengan interlokutor yang lebih dewasa. Singkatnya, semua teori
pemerolehan bahasa berusaha menjelaskan cara kerja pikiran manusia. Sebagian
besar linguist dan psikolog mendasarkan bukti-bukti mereka dari riset
neurologis. Perkembangan terakhir menunjukkan perlunya dipertimbangkan untuk menggunakan
bukti-bukti lainnya.
Bahasa Pembelajar Pemula (Learner
Language)
Konsep
Bahasa Pembelajar
Anak belajar bahasa tidak hanya
melalui imitasi dan latihan. Mereka juga memproduksi kalimat-kalimat yang tidak
sama dengan yang mereka dengar dan itu tercipta berdasarkan pada beberapa
proses internal dan pengetahuan yang berinteraksi dengan bahasa yang mereka
dengar. Pengetahuan anak tentang sistem gramatikal terbentuk dalam sebuah urutan
yang bisa diprediksi. Maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan
proses belajar bahasa kedua? Apakah itu terjadi dengan pola yang sama? Dahulu
orang mengira bahwa tuturan pembelajar bahasa kedua hanyalah versi yang salah
dari bahasa target. Kesalahan
itu diakibatkan oleh terjadinya transfer dari bahasa pertama. Analisis
kontrastif adalah basis untuk mengidentifikasi perbedaan antara bahasa pertama
dan kedua dan memprediksi area-area di mana kesilapan mungkin terjadi. Namun, dari
pembahasan sebelumnya kita tahu bahwa kesilapan yang dilakukan oleh pembelajar
bahasa kedua tidak bisa dijelaskan hanya berdasarkan pada aspek transfer bahasa
pertama saja. Kesilapan itu juga terjadi karena pembelajar berusaha untuk
menemukan struktur bahasa yang dipelajari dan bukannya usaha untuk memindahkan
pola dari bahasa pertama mereka. Selain itu, juga diketahui bahwa kesilapan
tidak selalu bersifat “bidireksional”.
Hipotesis
Analisis Kontrastif versi tradisional memprediksi bahwa jika ada perbedaan,
maka kesilapannya akan bidireksional. Misalnya, penutur Perancis yang
mempelajari Bahasa Inggris dan penutur bahasa Inggris yang mempelajari bahasa
Perancis akan melakukan kesilapan pada fitur linguistik yang sama. Faktanya,
penelitian menunjukkan bahwa penutur bahasa Inggris yang mempelajari bahasa Perancis
akan lebih mungkin melakukan kesilapan yang bisa diprediksi daripada penutur bahasa
Perancis yang mempelajari bahasa Inggris. Itu disebabkan karena penutur bahasa
Inggris yang mempelajari bahasa Perancis mendengarkan contoh-contoh kalimat
dengan tatanan subjek-kata kerja-objek, sehingga mereka membuat asumsi yang
salah berdasarkan tatanan kata dari bahasa pertama mereka dan informasi dari bahasa
kedua. Karena banyak aspek dari bahasa pebelajar tidak bisa dijelaskan dengan
Hipotesis Analisis Kontrastif, maka sejumlah peneliti mulai menggunakan
pendekatan berbeda untuk menganalisis kesilapan pebelajar. Pendekatan ini
dikenal dengan nama “analisis kesilapan” yang berkembang di tahun 1970-an.
Tujuan dari
pendekatan ini adalah untuk mengetahui apa yang sebenarnya diketahui oleh pembelajar
tentang bahasa yang mereka pelajari. Analisis kesilapan berbeda dengan analisis
kontrastif di mana analisis kesilapan tidak bertujuan untuk memprediksi
kesilapan. Tetapi, ia berusaha untuk menemukan dan menggambarkan jenis-jenis kesilapan
untuk memahami bagaimana pebelajar memproses data bahasa kedua. Analisis
kesilapan didasarkan pada asumsi bahwa, seperti halnya bahasa anak-anak, bahasa
dari pebelajar bahasa kedua adalah sebuah sistem yang berdiri sendiri – dan
mempunyai aturan sendiri serta bisa diprediksi. Karena itulah, Lary Selinker
memunculkan nama interlanguage (bahasa antara) untuk pebelajar
yang mengembangkan pengetahuan bahasa kedua. Penelitian terhadap bahasa antara
menunjukkan bahwa bahasa tersebut memiliki beberapa karakteristik yang
dipengaruhi oleh bahasa yang sebelumnya dipelajari oleh pebelajar, dipengaruhi
juga oleh beberapa karakteristik bahasa kedua dan beberapa karakteristik yang tampaknya
bersifat sangat umum dan muncul di semua atau hampir semua bahasa antara.
Pengaruh Bahasa Pertama
Para
pakar pembelajaran bahasa telah lama berpendapat bahwa bahasa pertama memiliki
pengaruh yang besar terhadap proses penguasaan bahasa kedua dengan baik. Bahkan
ada yang berpendapat bahwa bahasa pertama (bahasa ibu atau bahasa yang lebih
dahulu dipakai) adalah pengganggu di dalam proses pembelajaran bahasa kedua.
Hal tersebut dikarenakan bisa pasti para penutur yang sudah menguasai bahasa
pertama dalam mempelajari bahasa kedua akan coba untuk mencocok-cocokkan,
intervensi, alih kode dan lain-lain dari bahasa pertama mereka kepada bahas
kedua yang sedang dipelajarinya, sehingga menyebabkan beberapa kesalahan atau
kekhilafan (error). Berdasarkan beberapa teori atau hipotesis hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa:
a. Menurut teori stimulus-respons
yang dikemukakan oleh penganut paham behaviorisme, bahasa adalah hasil
perilaku stimulus-respons. Maka apabila seorang pembelajar ingin
memperbanyak ujaran, maka ia harus memperbanyak penerimaan stimulus. Oleh
karena itu, peranan lingkungan sebagai sumber datangnya stimulus menjadi
dominan dan bersifat sangat penting di dalam membantu proses penguasaan bahasa
kedua. Selain itu juga kaum behaviorisme menganggap bahwa bahasa adalah proses
pembiasaan. Itulah sebabnya, semakin orang ingin menguasai suatu bahasa, maka
ia harus memperbanyak menerima stimulus dan memberikan respon atas
stimulus-stimulus yang diterimanya itu.
b. Teori kontrastif menyatakan
bahwa keberhasilan belajar bahasa kedua sedikit banyaknya akan ditentukan pula
oleh keadaan linguistik bahasa pertama yang telah dikuasai pembelajar. Bahasa kedua adalah
proses transferisasi. Maka, jika struktur bahasa pertama yang sudah dikuasai
memiliki banyak kesamaan, pembelajar biasanya akan dapat dengan mudah menguasai
bahasa keduanya itu, demikian pula sebaliknya. Menurut teori analisis
kontrastif semakin besar perbedaan atara keadaan linguistik bahasa yang telah
dikuasai dengan bahasa kedua yang sedang dipelajarinya, maka akan semakin
besarlah kesulitan yang dihadapi oleh pembelajar dalam usaha menguasai bahasa
kedua yang dipelajarinya.
Komentar
Posting Komentar