Second Language Acquisition


Second Language Acquisition
Oleh:
Nina Spada (OISE/ University of Toronto)
Patsy M. Lightbown (Concordia University)
Diterjemahkan oleh Yashinta Kurnia Brilyanti

Apa yang dimaksud dengan Pemerolehan Bahasa Kedua?
            Penelitian mengenai pemerolehan bahasa kedua berfokus pada pengembangan pengetahuan dan penggunaan bahasa oleh anak-anak dan orang dewasa yang setidaknya telah mengetahui satu bahasa lain. Beberapa teori menekankan pada pentingnya karakteristik bawaan anak, dan beberapa lainnya menekankan pentingnya peran lingkungan dalam proses belajar bahasa. Selain itu, kita juga tahu bahwa proses belajar bahasa kedua anak dan orang dewasa adalah berbeda. Semua pembelajar bahasa kedua, berapapun usianya, biasanya sudah mempelajari paling tidak satu bahasa. Pengetahuan ini akan sangat menguntungkan karena pembelajar sudah tahu bagaimana bahasa berfungsi.
Teori Belajar Bahasa Kedua
            Di sisi lain, pengetahuan tentang bahasa lain juga bisa membuat pembelajar membuat tebakan yang salah tentang bagaimana bahasa kedua berfungsi dan ini bisa menyebabkan kesalahan yang tidak akan dilakukan oleh pembelajar bahasa pertama. Pembelajar bahasa pertama tidak memiliki kematangan kognitif, kesadaran metalinguistik, atau pengetahuan tentang dunia yang sama dengan pembelajar bahasa kedua. Walaupun pembelajar bahasa kedua mulai mengembangkan kematangan kognitif dan kesadaran metalinguistik, tetapi mereka tetap harus mengembangkan bidang-bidang tersebut, seperti juga bidang pengetahuan tentang dunia sebelum mereka masuk ke level yang sama seperti yang dicapai oleh remaja dan orang dewasa.
Perspektif Linguistik
(Gramatika Universal / Tata Bahasa Universal)
            Seperti yang kita ketahui, teori pemerolehan bahasa dari Chomsky didasarkan pada hipotesis yang menyatakan bahwa pengetahuan bawaan yang menjadi prinsip dari Gramatika Universal (UG) memungkinkan semua anak memperoleh bahasa yang digunakan di lingkungan mereka, selama periode kritis dalam perkembangan mereka. Chomsky tidak memberikan pernyataan khusus tentang implikasi teori ini untuk proses belajar bahasa kedua. Namun, beberapa linguist yang menggunakan teori ini menyatakan bahwa Gramatika Universal menawarkan sudut pandang terbaik untuk bisa memahami pemerolehan bahasa kedua. Lainnya, menyatakan bahwa walaupun UG bisa menjadi kerangka yang bagus untuk memahami perolehan bahasa pertama, tetapi ia tidak bisa lagi menjadi panduan untuk pemerolehan bahasa kedua dari pembelajar yang sudah melewati periode kritis untuk pemerolehan bahasa. Bahkan mereka yang percaya bahwa UG memiliki peran penting dalam pemerolehan bahasa kedua tidak setuju tentang bagaimana peran UG dalam perkembangan bahasa kedua.
            Peneliti yang menggunakan kerangka UG juga berbeda dalam hal hipotesis yang diajukan tentang bagaimana pembelajaran formal atau koreksi kesalahan akan mempengaruhi pengetahuan pembelajar akan bahasa kedua. Seperti halnya anak kecil, pembelajar dewasa bahasa kedua tidak butuh dan tidak memperoleh manfaat dari koreksi kesalahan dan informasi metalinguistik yang ada. Mereka menyimpulkan bahwa kedua hal itu hanya akan merubah penampilan superfisial dari performa bahasa, tidak mempengaruhi pengetahuan sistematik dari bahasa baru. Peneliti yang mempelajari pemerolehan bahasa kedua dengan menggunakan sudut pandang UG biasanya tertarik dengan kompetensi bahasa (pengetahuan) dari pembelajar bahasa tingkat lanjut dan tidak tertarik dengan bahasa sederhana dari pebelajar tahap awal. Mereka menyatakan bahwa, jika berbagai macam teori lainnya sudah memadai untuk menjelaskan tentang performa bahasa awal, tetapi teori seperti UG adalah penting untuk menjelaskan pengetahuan pembelajar tentang bahasa kompleks. Mereka tertarik dengan apakah kompetensi yang mendasari performa bahasa dari pembelajar bahasa kedua menyerupai kompetensi yang mendasari performa bahasa dari penutur asli.
Teori Monitor
            Stephen Krashen (1982) mengajukan teori pemerolehan bahasa kedua yang sangat berpengaruh dalam pengajaran bahasa kedua. Dia mengajukan lima “hipotesis” yang membentuk apa yang oleh Krashen dinyatakan sebagai “monitor model”. Hipotesis-hipotesis tersebut adalah sebagai berikut:
1. Acquisition-learning Hypothesis
Menurut Krashen, ada dua cara yang digunakan oleh pembelajar dewasa untuk mengembangkan pengetahuan bahasa kedua yaitu “pemerolehan dan belajar”. Kita “memperoleh” bahasa ketika kita mendengarkan sampel bahasa kedua sama seperti anak kecil yang belajar bahasa pertama mereka. Sebaliknya, belajar terjadi melalui proses belajar
formal dan penuh perhatian untuk membentuk pengetahuan. Krashen juga menegaskan bahwa belajar (learning) tidak bisa berubah menjadi pemerolehan (acquisition).
2. Monitor Hypothesis
Krashen menyatakan bahwa sistem yang sudah diperoleh berfungsi untuk memicu munculnya tuturan dari penutur dan memengaruhi kelancaran dan penilaian terhadap benar tidaknya kalimat yang diucapkan. Sebaliknya, sistem yang sudah dipelajari hanya akan berfungsi sebagai editor atau “monitor” yang hanya akan menimbulkan sedikit perubahan dan memoles apa yang sudah dihasilkan oleh sistem yang diperoleh (acquired). Krashen juga menyatakan bahwa pebelajar menggunakan monitor hanya jika mereka terfokus pada “benar” dan bukan pada apa yang harus dikatakan, jika mereka memiliki cukup waktu untuk mencari aturan yang relevan dalam memori mereka. Tetapi sulit untuk memperoleh bukti tentang penggunaan “monitor”. Sulit untuk menentukan mana yang sudah dihasilkan oleh sistem yang diperoleh dan mana yang menjadi hasil dari penggunaan monitor.
3. Natural Order Hypothesis
Dasar untuk hipotesis ini adalah pengamatan bahwa seperti halnya pembelajar bahasa pertama, pembelajar bahasa kedua memperoleh fitur bahasa target dalam pola yang bisa diprediksi.
4. Input Hypothesis
Krashen menegaskan bahwa seseorang memperoleh bahasa hanya dengan satu cara – yaitu dengan eksposur terhadap input yang bisa dipahami. Jika input berisi bentuk dan struktur di atas level kompetensi bahasa pebelajar (apa yang oleh Krashen disebut dengan “i+1), maka komprehensi dan pemerolehan akan terjadi.
5. Affective Filter Hypothesis
“Filter Afektif” adalah hambatan imajiner yang membuat pembelajar tidak bisa memperoleh bahasa dari input yang tersedia. “Affect” mengacu pada hal-hal seperti motif, kebutuhan, sikap, dan kondisi emosional. Seorang pmebelajar yang sedang tegang, marah, khawatir
atau bosan akan “menyingkirkan” output, sehingga tidak terjadi pemerolehan. Jadi, dengan memperhatikan kondisi-kondisi pikiran atau disposisi pebelajar, maka filter tersebut akan membatasi apa yang diperhatikan dan apa yang diperoleh. Yang membuat hipotesis ini menarik bagi para praktisi adalah bahwa itu memiliki implikasi langsung terhadap praktik di kelas. Guru bisa memahami mengapa beberapa pebelajar berhasil sementara lainnya tidak. Tetapi masalah yang muncul dari hipotesis ini adalah sulit untuk memastikan bahwa faktor-faktor afektiflah yang menyebabkan perbedaan dalam hal pemerolehan bahasa.
Perspektif Psikologis
(Behaviorisme)
            Kaum behaviorist menjelaskan proses belajar dengan menekankan pada imitasi, praktik, penguatan (atau umpan balik untuk keberhasilan) dan pembentukan kebiasaan. Kaum behaviorist yakin bahwa belajar, apakah itu verbal atau non-verbal, terjadi melalui proses yang sama. Pembelajar menerima input linguistik dari penutur di lingkungan mereka dan mereka akan menciptakan “asosiasi” antarkata dan obyek atau peristiwa. Asosiasi itu akan menjadi semakin kuat ketika pengalaman muncul berulang-ulang. Pembelajar menerima dorongan positif untuk imitasi yang mereka lakukan secara benar dan umpan balik korektif untuk kesalahan yang mereka buat. Karena perkembangan bahasa dianggap sebagai pembentukan kebiasaan, maka diasumsikan bahwa orang yang mempelajari bahasa kedua mulai dengan kebiasaan yang terbentuk dalam bahasa pertama dan kebiasaan-kebiasaan tersebut pasti akan berbenturan dengan kebiasaan baru yang dibutuhkan untuk mempelajari bahasa kedua (Lado, 1964).
            Kaum behaviorist seringkali dikaitkan dengan Contrastive Analysis Hypothesis (CAH) (Hipotesis Analisis Kontrastif) yang dikembangkan oleh linguist structural di Eropa dan Amerika Utara. CAH menyatakan bahwa jika ada kemiripan antara bahasa pertama dan bahasa target, maka pembelajar akan lebih mudah menguasai struktur bahasa target dan jika ada perbedaan, maka pembelajar akan menemukan kesulitan. Namun, para peneliti menemukan bahwa tidak semua kesalahan yang diprediksi oleh CAH benar-benar terjadi. Selain itu, banyak kesalahan yang dibuat oleh pembelajar tidak bisa diprediksi dengan berdasarkan pada CAH. Misalnya, pembelajar pemula menggunakan struktur sederhana dalam bahasa target seperti halnya anak-anak; misalnya, “No Understand” (seharusnya Not Understand) atau “Yesterday, I meet my teacher” (seharusnya yesterday, I met my teacher). Kalimat seperti itu lebih mirip dengan kalimat dari bahasa pertama yang diucapkan oleh anakanak daripada terjemahan dari bahasa lainnya. Banyak kalimat-kalimat yang dihasilkan oleh pebelajar bahasa kedua di tahap awal perkembangan akan sangat tidak gramatikal jika dlihat dari bahasa pertama. Selain itu, beberapa karakteristik dari kalimat-kalimat sederhana tersebut bisa dijumpai dihampir semua pebelajar yang berasal dari berbagai macam latar belakang yang berbeda, bahkan walaupun struktur bahasa pertama mereka sangat berbeda satu sama lain dan juga berbeda dengan bahasa target.
Connectionism / Koneksionisme
            Kaum koneksionist memberikan penekanan yang lebih besar pada peran lingkungan dibanding pengetahuan bawaan dalam diri pembelajar, dengan asumsi bahwa apa yang dibawa sejak lahir hanyalah kemampuan untuk belajar, bukan struktur linguistik tertentu. Koneksionis menyatakan bahwa pebelajar membentuk pengetahuan tentang bahasa melalui eksposur terhadap ribuan fitur linguistik. Jika kaum innatist menganggap bahwa input bahasa dalam lingkungan hanya menjadi “pemicu” untuk mengaktifkan pengetahuan bawaan, maka kaum koneksionis memandang input bahasa sebagai sumber utama untuk pengetahuan linguistik. Setelah mendengar fitur-fitur linguistik dalam konteks situasi atau linguistik tertentu, maka pebelajar akan mengembangkan “koneksi” mental yang semakin kuat diantara elemen-elemen tersebut. Sebagai contoh, pembelajar mungkin akan bisa menyusun kalimat dengan benar bukan karena mereka tahu aturan susunan kalimat, tetapi karena mereka seringkali mendengar contoh-contoh kalimat semacam itu.
Perspektif Interaksionist
            Beberapa teoritikus interaksionist, seperti Hatch (1992), Teresa Pica (1994) dan Michael Long (1983) menyatakan bahwa sebagian besar proses pemerolehan bahasa kedua terjadi melalui interaksi percakapan. Ini sama dengan teori bahasa pertama yang sangat menekankan pada tuturan yang ditujukan pada anak. Kaum interaksionist setuju dengan Krashen bahwa input yang bisa dipahami adalah penting untuk pemerolehan bahasa, walaupun mereka juga memberikan penekanan pada pertanyaan tentang bagaimana input bisa mudah dipahami. Long menyatakan bahwa apa yang dibutuhkan pembelajar bukan hanya penyederhanaan bentuk-bentuk linguistik tetapi peluang untuk berinteraksi dengan penutur lain, sampai pembelajar memahaminya. Long menyimpulkan bahwa interaksi yang dimodifikasi terkait erat dengan pemerolehan bahasa karena:
1. Modifikasi interaksional membuat input menjadi lebih bisa dipahami.
2. Input yang bisa dipahami akan meningkatkan pemerolehan.
3. Modifikasi interaksional meningkatkan pemerolehan.
            Sudut pandang lain tentang peran interaksi dalam pemerolehan bahasa kedua adalah teori sosio budaya untuk pemrosesan mental manusia yang diajukan oleh Vygotsky. Vygotsy menyatakan bahwa semua perkembangan kognitif, termasuk perkembangan bahasa, muncul sebagai akibat dari interaksi sosial antar individu. Berdasarkan teori Vygotsky tersebut, Jim Lantolf dan lainnya menyatakan bahwa pembelajar bahasa kedua bisa naik ke level yang lebih tinggi ketika mereka berkolaborasi dan berinteraksi dengan pembelajar bahasa kedua yang lebih pandai dari mereka. Yang penting dari teori Vygotsky adalah gagasan tentang zona perkembangan proksimal, yaitu level performa yang bisa ditunjukkan oleh pembelajar ketika ada dukungan yang berasal dari interaksi dengan interlokutor yang lebih dewasa. Singkatnya, semua teori pemerolehan bahasa berusaha menjelaskan cara kerja pikiran manusia. Sebagian besar linguist dan psikolog mendasarkan bukti-bukti mereka dari riset neurologis. Perkembangan terakhir menunjukkan perlunya dipertimbangkan untuk menggunakan bukti-bukti lainnya.
Bahasa Pembelajar Pemula (Learner Language)
Konsep Bahasa Pembelajar
            Anak belajar bahasa tidak hanya melalui imitasi dan latihan. Mereka juga memproduksi kalimat-kalimat yang tidak sama dengan yang mereka dengar dan itu tercipta berdasarkan pada beberapa proses internal dan pengetahuan yang berinteraksi dengan bahasa yang mereka dengar. Pengetahuan anak tentang sistem gramatikal terbentuk dalam sebuah urutan yang bisa diprediksi. Maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan proses belajar bahasa kedua? Apakah itu terjadi dengan pola yang sama? Dahulu orang mengira bahwa tuturan pembelajar bahasa kedua hanyalah versi yang salah dari bahasa target.             Kesalahan itu diakibatkan oleh terjadinya transfer dari bahasa pertama. Analisis kontrastif adalah basis untuk mengidentifikasi perbedaan antara bahasa pertama dan kedua dan memprediksi area-area di mana kesilapan mungkin terjadi. Namun, dari pembahasan sebelumnya kita tahu bahwa kesilapan yang dilakukan oleh pembelajar bahasa kedua tidak bisa dijelaskan hanya berdasarkan pada aspek transfer bahasa pertama saja. Kesilapan itu juga terjadi karena pembelajar berusaha untuk menemukan struktur bahasa yang dipelajari dan bukannya usaha untuk memindahkan pola dari bahasa pertama mereka. Selain itu, juga diketahui bahwa kesilapan tidak selalu bersifat “bidireksional”.
            Hipotesis Analisis Kontrastif versi tradisional memprediksi bahwa jika ada perbedaan, maka kesilapannya akan bidireksional. Misalnya, penutur Perancis yang mempelajari Bahasa Inggris dan penutur bahasa Inggris yang mempelajari bahasa Perancis akan melakukan kesilapan pada fitur linguistik yang sama. Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa penutur bahasa Inggris yang mempelajari bahasa Perancis akan lebih mungkin melakukan kesilapan yang bisa diprediksi daripada penutur bahasa Perancis yang mempelajari bahasa Inggris. Itu disebabkan karena penutur bahasa Inggris yang mempelajari bahasa Perancis mendengarkan contoh-contoh kalimat dengan tatanan subjek-kata kerja-objek, sehingga mereka membuat asumsi yang salah berdasarkan tatanan kata dari bahasa pertama mereka dan informasi dari bahasa kedua. Karena banyak aspek dari bahasa pebelajar tidak bisa dijelaskan dengan Hipotesis Analisis Kontrastif, maka sejumlah peneliti mulai menggunakan pendekatan berbeda untuk menganalisis kesilapan pebelajar. Pendekatan ini dikenal dengan nama “analisis kesilapan” yang berkembang di tahun 1970-an.
            Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk mengetahui apa yang sebenarnya diketahui oleh pembelajar tentang bahasa yang mereka pelajari. Analisis kesilapan berbeda dengan analisis kontrastif di mana analisis kesilapan tidak bertujuan untuk memprediksi kesilapan. Tetapi, ia berusaha untuk menemukan dan menggambarkan jenis-jenis kesilapan untuk memahami bagaimana pebelajar memproses data bahasa kedua. Analisis kesilapan didasarkan pada asumsi bahwa, seperti halnya bahasa anak-anak, bahasa dari pebelajar bahasa kedua adalah sebuah sistem yang berdiri sendiri – dan mempunyai aturan sendiri serta bisa diprediksi. Karena itulah, Lary Selinker memunculkan nama interlanguage (bahasa antara) untuk pebelajar yang mengembangkan pengetahuan bahasa kedua. Penelitian terhadap bahasa antara menunjukkan bahwa bahasa tersebut memiliki beberapa karakteristik yang dipengaruhi oleh bahasa yang sebelumnya dipelajari oleh pebelajar, dipengaruhi juga oleh beberapa karakteristik bahasa kedua dan beberapa karakteristik yang tampaknya bersifat sangat umum dan muncul di semua atau hampir semua bahasa antara.
Pengaruh Bahasa Pertama
            Para pakar pembelajaran bahasa telah lama berpendapat bahwa bahasa pertama memiliki pengaruh yang besar terhadap proses penguasaan bahasa kedua dengan baik. Bahkan ada yang berpendapat bahwa bahasa pertama (bahasa ibu atau bahasa yang lebih dahulu dipakai) adalah pengganggu di dalam proses pembelajaran bahasa kedua. Hal tersebut dikarenakan bisa pasti para penutur yang sudah menguasai bahasa pertama dalam mempelajari bahasa kedua akan coba untuk mencocok-cocokkan, intervensi, alih kode dan lain-lain dari bahasa pertama mereka kepada bahas kedua yang sedang dipelajarinya, sehingga menyebabkan beberapa kesalahan atau kekhilafan (error). Berdasarkan beberapa teori atau hipotesis hal tersebut dapat disimpulkan bahwa:
a. Menurut teori stimulus-respons yang dikemukakan oleh penganut paham behaviorisme, bahasa adalah hasil perilaku stimulus-respons. Maka apabila seorang pembelajar ingin memperbanyak ujaran, maka ia harus memperbanyak penerimaan stimulus. Oleh karena itu, peranan lingkungan sebagai sumber datangnya stimulus menjadi dominan dan bersifat sangat penting di dalam membantu proses penguasaan bahasa kedua. Selain itu juga kaum behaviorisme menganggap bahwa bahasa adalah proses pembiasaan. Itulah sebabnya, semakin orang ingin menguasai suatu bahasa, maka ia harus memperbanyak menerima stimulus dan memberikan respon atas stimulus-stimulus yang diterimanya itu.
b. Teori kontrastif menyatakan bahwa keberhasilan belajar bahasa kedua sedikit banyaknya akan ditentukan pula oleh keadaan linguistik bahasa pertama yang telah dikuasai pembelajar. Bahasa kedua adalah proses transferisasi. Maka, jika struktur bahasa pertama yang sudah dikuasai memiliki banyak kesamaan, pembelajar biasanya akan dapat dengan mudah menguasai bahasa keduanya itu, demikian pula sebaliknya. Menurut teori analisis kontrastif semakin besar perbedaan atara keadaan linguistik bahasa yang telah dikuasai dengan bahasa kedua yang sedang dipelajarinya, maka akan semakin besarlah kesulitan yang dihadapi oleh pembelajar dalam usaha menguasai bahasa kedua yang dipelajarinya.

Komentar

Postingan Populer